Menanti Pagi di Masjid Agung Jawa Tengah

Kereta yang saya tumpangi mulai menahan lajunya. Ular besi itu berderak-derak. Suara klakson kereta melolong panjang. Saya melongok ke jendela, ke arah stasiun. Stasiun Tawang, inilah perhentian terakhir kereta yang saya tumpangi. Kereta akhirnya berhenti. Petugas mengucapkan selamat datang lewat pengeras suara. Pintu-pintu kereta dibuka. Para penumpang berhamburan keluar, ke tujuan masing-masing, termasuk saya.

“Masjid Agung Jawa Tengah berapa, Pak?” tanya saya pada tukang ojeg yang mangkal di sebelah pintu masuk stasiun. “Tiga puluh ribu, mas,” jawabnya. “Dua puluh aja, pak,” saya menawar. “Tiga puluh ribu,” dia bersikukuh. Akhirnya saya mengiyakan, mengalah lebih tepatnya. Saya sedang mengejar waktu. Kami melaju di jalanan Kota Semarang yang lengang dini hari itu. Hanya beberapa kendaraan yang berpapasan dengan kami. Kang Ojek melajukan kendaraannya dengan kencang. Angin dini hari menyapu kulit dan menembus jaket yang saya kenakan. Ah, betapa lancar jalanan di jam segini, saya membatin.

Ingatan saya melayang ke kondisi jalanan di Jakarta beberapa jam sebelumnya, ketika saya menuju stasiun. Waktu itu, saya menggunakan jasa ojeg online untuk menuju stasiun. Biasanya saya naik Transjakarta, namun karena harus mengejar waktu, saya menggunakan ojeg. Dan, tampaknya jalanan Jakarta adalah tempat menguji kesabaran. Bagaimana tidak, saya berkendara di jam orang-orang pulang kerja. Di saat itulah, sopir ojeg harus berjuang membelah jalanan Jakarta yang sesak oleh kendaraan. Belum lagi kami harus mengejar jadwal kereta. Saya gelisah sepanjang perjalanan sembari berdoa tidak ketinggalan kereta. Sopir ojeg mengendarai motornya seperti orang kesetanan.

Sampai di halaman masjid, suasana masih gelap. Suara adzan subuh belum juga berkumandang. Di pintu gerbang hanya ada tukang parkir seorang diri yang terkantuk-kantuk. “Permisi, pak,” saya menyapa. “Silakan, mas,” jawabnya. Dari pelataran, saya melihat menara dan pilar-pilar masjid megah menjulang. Saya kagum akan kemegahan bangunan Masjid Agung Jawa Tengah. Saya terus melangkah dan menaiki beberapa anak tangga.

Di serambi saya berdiri memandang ke arah bangunan utama masjid. Takjub. Beberapa saat kemudian, beberapa anak remaja memasuki serambi masjid dari samping kiri. Saya sedikit kaget. Saya pikir, hanya saya musafir yang “terdampar” di tempat ini. Ternyata tidak. Anak-anak remaja itu, yang entah dari mana asalnya, satu-persatu bermunculan. Selang beberapa menit, sekelompok ibu-ibu masuk dari tangga samping kiri. Dari dialeg dan penampilan mereka, saya bisa simpulkan mereka adalah para wisatawan yang mampir ke masjid ini untuk salat subuh dan istirahat.

Saya semakin yakin bahwa masjid ini menjadi favorit para pejalan dan masyarakat Semarang. Sebab, menjelang pagi, masjid ini makin ramai pengunjung. Ada yang bermain bersama anak istri, beberapa kelompok muda-mudi berdiskusi di serambi, serta grup rebana yang sedang rekaman untuk video.

Masjid Agung Jawa Tengah dibangun dalam kurun waktu empat tahun sejak 2002. Menempati areal seluas 10 hektar, masjid ini mempunyai beberapa ruangan untuk masyarakat umum. Misalnya, perpustakaan yang terletak di bangunan sayap kiri, ruang auditorium berkapasitas 2000 orang di sayap kanan masjid, serta tempat parkir yang cukup luas. Adalah Ir. H. Ahmad Fanani yang berada di balik kemegahan arsitektur masjid ini. Ia menggabungkan arsitektur bergaya Jawa, Arab, dan Romawi. Limas pada atap bangunan utama masjid adalah cirri khas arsitektur Jawa. Sementara pilar-pilar yang berjajar melengkung di halaman masjid menyerupai Koloseum di Athena. Sedangkan sentuhan arsitektural Timur Tengah terlihat dari menara-menara dan kubah di serambi masjid.

Semburat cahaya mulai terlihat di ufuk timur. Sebentar lagi matahari terbit. Saya sudah memasang tripod sedari habis subuh tadi untuk mengabadikan momen pagi ini. Sementara serambi masih juga penuh pengunjung dengan aktivitas masing-masing. Sebenarnya, saya menginginkan bangunan masjid saja. Namun, apa hendak dikata. Di pagi hari pun, masjid ini penuh pengunjung. Lagipula, saya datang di akhir pekan. Beberapa waktu menunggu, matahari tak juga terlihat. Hanya semburat tipis warna kuning emas terlihat di langit timur. Ya, memotret mahatari terbit atau tenggelam di bulan Januari lebih banyak mengandalkan keberuntungan. Dan sepertinya pagi itu saya sedang kurang beruntung.

Hari semakin terang. Lampu-lampu mulai dipadamkan. Semakin banyak orang memasuki pelataran masjid. Saya mengambil beberapa foto sebelum akhirnya meninggalkan masjid agung itu. Meskipun, saya masih belum puas dengan beberapa foto yang saya dapatkan. Barangkali ini pertanda saya harus kembali ke masjid ini di lain hari.

4 respons untuk ‘Menanti Pagi di Masjid Agung Jawa Tengah

  1. Aku suka banget nonkrong di pelatyaran masjid ini kalo sore. Hawanya enaaak banget. Lihatin senja, denger suara adzan, terus lampu2 mulai nyala. Syahdu-syahdu gimana gitu. Jadi kangen kesini lagi deh.

Tinggalkan Balasan ke Mujibur Rohman Batalkan balasan